Contoh rumah rubuh akibat gempa di Bantul |
Sedikit share tentang teori dan desain rumah tahan gempa yang menjadi topik judul penelitian saya di MK. Seminar semester 7 lalu, Studi kasus sendiri berada di wilayah desa Kebon Agung di Bantul, Yogyakarta. Rumah tinggal sendiri bukan hanya sebuah bangunan yang dilihat hanya dalam segi struktural, melainkan juga kediaman yang memenuhi syarat – syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Diantaranya kelayakan keamanan, fungsi, dan efektifitas dalam hunian. Dalam merancang hunian pun kita harus tahu bahwa Lingkungan alam adalah sebagai makrokosmos dan lingkungan buatan (rumah tinggal) sebagai mikrokosmos.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat resiko terhadap gempa bumi yang cukup tinggi, hal ini disebabkan karena wilayah kepulauan Indonesia yang berada di antara empat sistem tektonik yang aktif, yaitu tapal batas lempeng Eurasia, lempeng Indo Australia, lempeng Filipina dan lempeng Pasifik. Di samping itu Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang di dunia sehingga selain rawan terhadap gempa juga rawan terhadap tsunami.
Ketika kejadian gempa di wilayah Yogyakarta – Bantul – Klaten pada tahun 2006 menelan banyak korban tewas. Sangat disayangkan walau gempa hanya berkekuatan 5.8 skala Richter, namun kerusakan yang ditimbulkan sangat parah. Semestinya dengan kekuatan gempa seperti itu, Jogja tidak seharusnya rusak sampai separah itu. Berbeda dari tahun 2006, gempa yang juga terjadi bulan Agustus 2010 lalu tidak sampai merusak sebagian kota di Yogyakarta. Dalam banyaknya kasus kerusakan besar akibat bencana gempa sering kali disebabkan karena kelalaian dan kekurang hati - hatian manusia. Wilayah yang paling parah dalam hal kerusakan bangunan terutama rumah tinggal yang sering terkena bencana gempa bumi kebanyakan adalah negara – negara yang sedang berkembang, dimana pembangunan dilaksanakan oleh masyarakat sendiri. Karena itulah mengapa pendidikan tentang prinsip struktur dan konstruksi bangunan yang tahan gempa sangat diperlukan.
Dari jutaan getaran bumi setiap tahunnya, hanya 20 getaran diantaranya yang dapat menyebabkan gempa bumi kuat dan menyebabkan kerusakan. Kerusakan pada bangunan gedung dapat dicegah dengan beberapa cara (Dr. Ir. Heinz Frick, dipl. arch. FH/SIA dan Ir. IM. Tri Hesti Mulyani, MT., “Pedoman Bangunan Tahan Gempa” edisi ke-1 tahun 2006.) yaitu :
- Tidak membangun gedung didekat dan diatas retakan akibat pergeseran lempeng tektonik. Perlu diketahui bahwa retakan tersebut pada umumnya tidak tampak dipermukaan bumi karena tertutupi endapan tanah. Retakan tersebut dapat diketahui melalui peta seismic daerah atau dengan mengukur radiasi bumi yang umumnya pada area retakan lebih tinggi daripada biasa.
- Membangun gedung tahan gempa jika terpaksa harus membangun didaerah dengan intensitas getarannya dapat mengakibatkan kerusakan gedung.
- Memilih lahan di Kalimantan Tengah atau Papua Selatan (Merauke).
Kerusakan pada gedung tidak dapat dicegah apabila :
- Kekuatan gempa bumi melebihi 8.0 MMI (>0.1 g), yang dapat mengakibatkan kerusakan berat pada bangunan dan bangunan yang lemah mulai roboh. Karena kekuatan gedung tahan gempa bumi mencapai 9.0 MMI akan mahal dan akan rumit dalam perhitungannya, sebaiknya hanya gedung penting dan umum dibuat sedemikian stabil.
- Tanah mencair akibat gempa bumi. Hal ini hanya terjadi pada tanah yang jenuh air yang sebenarnya tidak lazim dibangun untuk permukiman, tapi dalam kenyataan justru ini adalah tempat yang dipilih untuk kota pelabuhan, perdagangan, dan industri diseluruh dunia.
Walaupun konstruksi bangunan yang dikerjakan mampu tahan terhadap gempa, namun penghuni didalamnya harus menyelamatkan diri saat terjadi gempa. Hal ini sangat penting karena untuk meminimalisir korban yang jatuh.
No comments:
Post a Comment